Jangan Harap Genjot Ekonomi Cuma dari Penurunan Bunga Acuan
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2019. Ini berarti, bunga acuan telah dipangkas hingga 50 bps dalam dua bulan berturut-turut.Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan keputusan ini diambil untuk memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global. Diketahui ekonomi global tertekan, seperti di AS, China, India, hingga Eropa.
Menurut Ekonom Bank DBS Masyita Crystallin penurunan suku bunga acuan umumnya memang akan mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi di dalam negeri. Sebab, perbankan juga pelan-pelan akan mengikuti bunga acuan yang ditetapkan oleh BI.
Logikanya, jika bunga kredit bank turun, maka keinginan masyarakat untuk berbelanja menggeliat karena bunga kredit yang lebih murah. Begitu juga bagi korporasi yang mau berutang ke bank untuk ekspansi, beban biayanya akan lebih rendah dari sebelumnya.
Namun, praktiknya tak selalu demikian. Semuanya bergantung dari kebijakan perbankan. "Jadi transmisi ke bunga kredit bank agak panjang, waktunya bisa enam bulan. Yang pertama berubah pasti bunga deposito dulu, setelah itu baru bunga kredit," kata Masyita kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/8).Kalau benar enam bulan, berarti bunga kredit baru turun pada Februari 2020 mendatang. Artinya, stimulus ini belum cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek atau menengah.
Ia juga pesimis bank akan menurunkan bunga kreditnya besar-besaran seperti BI yang mencapai 50 bps. "BI pada 2018 kan menaikkan (bunga acuan) 175 basis poin. Nah, bunga kredit tidak ada yang naik sampai 175 bps. Karenanya, tahun ini bukan berarti bunga kredit bakal turun serta merta 50 bps juga," ujar Masyita.
Prediksi itu boleh dibilang hampir benar. Buktinya, sejumlah bank besar mengaku belum akan menurunkan bunga kredit dalam waktu dekat. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, misalnya. Sebab, BRI mengaku sudah memangkas bunga lebih dulu sebesar 25 bps.
"Tiga minggu yang lalu sudah kami putus untuk diturunkan. Berarti, putusan kami sudah tepat, karena respons kami mendahului putusan BI," imbuh Suprajarto.Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja juga mengatakan hal yang sama. Namun, perusahaan lebih akan mencermati hasil rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) sebelum kembali menurunkan suku bunga kredit.
Masyita kembali menegaskan kondisi tersebut sulit mendongkrak daya beli masyarakat. Paling tidak, ia menganggap perlu ada insentif fiskal dari pemerintah yang berbeda dari tahun lalu untuk menggenjot konsumsi masyarakat.
"Jadi kalau mau dorong ekonomi lebih cepat ya dengan insentif fiskal, misalnya gelontorin lebih banyak subsidi sosial untuk kelas menengah ke bawah," jelasnya.
Diketahui, konsumsi masyarakat masih memegang peranan tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sementara, komponen lainnya dipengaruhi oleh belanja pemerintah, investasi, ekspor, dan impor.Sebagai gambaran, konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan sebesar 55,79 persen untuk pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019. Sementara, belanja pemerintah 8,71 persen, ekspor barang dan jasa 17,61 persen, dan komponen dikurangi impor barang dan jasa sebesar 18,53 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 hanya 5,05 persen. Realisasinya melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai keputusan BI menurunkan bunga acuan sudah tepat untuk mempertahankan ekonomi domestik. Toh, komponen pertumbuhan ekonomi lainnya, terutama ekspor dan impor tak bisa diandalkan.
Gubernur BI Perry Warjiyo. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
|
Namun, persis seperti Masyita, Josua juga memprediksi dampak dari penurunan suku bunga acuan BI baru terasa minimal pada akhir tahun ini atau bahkan awal 2020 nanti. Bukan tanpa sebab, bank-bank butuh waktu untuk menyesuaikan lagi bunga kredit yang akan ditawarkan kepada nasabah.
"Bank perlu lihat kondisinya masing-masing, ini bervariasi. Dilihat dari ketersediaan likuiditasnya, lalu risiko kredit," terang dia.
Jika likuiditasnya longgar, maka perusahaan bisa lebih cepat untuk menurunkan bunga kreditnya kepada nasabah. Sebaliknya, kalau likuiditas mengetat, bank akan pikir-pikir dulu untuk memberikan bunga kredit yang lebih murah.
"Karena kan kalau likuiditas ketat, artinya ketersediaan dana tidak banyak untuk menyalurkan kredit, itu mempengaruhi," ujarnya.Jadi, sambung dia, pihak BI dan pemerintah salah kalau hanya mengandalkan penurunan bunga acuan semata untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Pemerintah, perlu membantu dengan menggelontorkan lebih banyak subsidi tahun ini.
"Artinya ada kombinasi dari kebijakan fiskal yang lebih untuk mendorong konsumsi. Misal, bisa dengan kenaikan PTKP (penghasilan tidak kena pajak). Pendapatan yang kena pajak jadi lebih tinggi," tutur Josua.
Dengan perpaduan kebijakan fiskal pemerintah dan moneter BI, Josua meyakini ekonomi domestik bisa tetap kokoh ketika kondisi global semakin tidak kondusif. Minimal, lanjut dia, pertumbuhan ekonomi tak turun di bawah 5 persen. "Setidaknya Indonesia tidak mudah goyah kalau global kenapa-kenapa," imbuhnya.
Sebagai informasi, Dana Moneter Internasional (IMF) sempat merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,2 persen dari semula 3,3 persen. Kemudian, ekonomi global pada tahun depan diramalkan tumbuh 3,5 persen atau lebih rendah dari prediksi sebelumnya yang mencapai 3,6 persen.Keputusan itu diambil IMF setelah melihat situasi perang dagang antara AS dan China yang tak kunjung selesai. Hal ini membuat ketidakpastian di global akan berlanjut.
[Gambas:Video CNN]
(bir)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jangan Harap Genjot Ekonomi Cuma dari Penurunan Bunga Acuan"
Post a Comment